Bukan kamu.
Aku tak butuh kehadiranmu. Atau kamu. Dan juga kamu.
Aku membutuhkanku. Hanya diriku. Kedengarannya egois, eh?
Tapi pernahkah kamu merasa kehilangan siapa sebenarnya dirimu sendiri? Merindukannya? Seribu tahun cahaya?
Aku lupa bagaimana caraku bercerita kepadamu. Lembutkah? Bengiskah? Ramaikah? Tengil dan santaikah?
Aku bahkan lupa bagaimana bilang suka pada satu-satunya hal yang aku sukai. Bukan kamu. Tentu saja, aku belum membencinya. Mungkin tak akan.
Bukan kamu yang berselimut dosa.
Cuma aku yang terbebat isi pikiranku. Tentang dosamu, tentang dosaku juga, mungkin. Tentang secuil kerusakan di semesta kita. Atau malah tentang mikroba yang menghabiskan sisa sarapan di perutku, mungkin.
Bukan kamu yang jadi gila.
Hanya aku yang terasing dalam spiral kosong pikiranku yang membahana. Menuju angkasa gelap tanpa cahaya. Menerawang hingga ke ujung neraka, mungkin. Selalu saja ada kemungkinan untuk ketidakpastian, kurasa. Kamu pun termasuk di dalamnya.
Bukan kamu yang berjuang untukku.
Aku perlu mengingatkanmu. Tidak perlu berjuang untukku.
Terlebih, tak ada lagi yang bisa aku perjuangkan. Lawanku ini tangguh, lho.
Isi kepalaku sendiri, yang bukan cuma soal menguasai dunia.
Tapi juga tentang menguasai beragam peluru yang meledak-ledak di kepala.
Bukan kamu pahlawannya.
Kamu harus ingat. Aku bahkan tak pernah tahu siapa penjahatnya.
Aku hanya butuh diriku kembali, sepertinya.
Bukan kamu yang jadi tokoh utamanya.
Tapi aku, seonggok daging yang sedang berputar-putar bahagia dengan mesinnya.
Di tengah-tengah tong setan berbentuk bundar menyala-nyala.
Bukan kamu yang oleng.
Aku tahu bisa bertahan hidup jika tetap seimbang.
Tapi aku pasti mati jika spiral kosong pikiranku kembali.
Bagai bianglala yang terus berputar meski tak ada lagi yang menginginkannya.
Sekali lagi, bukan kamu pusat dunia ini, tapi aku.
Oh, dunia ini memang bangsat.