Sambil melangkah cepat, di malam itu,
Ada banyak yang berkutat di kepala gua.
Beragam tagihan, adik yang udah lulus kuliah tapi masih nyari kerjaan, love-hate relationship sama kerjaan, orang tua yang semakin menua, umur seperempat abad plus-plus yang kayaknya kok belum achieve apapun dalam hidup ini, invoice freelance yang belum cair, tulisan yang buntu-buntu gitu aja, pekerjaan lain yang masih jauh dari kata selesai, hingga perut yang kian membuncit.
*yang terakhir penting banget, bok, gua gak mau jadi om-om gendats yang gak seksi huhu*
Semua pikiran itu tumbuh dan bermunculan satu per satu. Membuat hati gelisah di tengah kota Jakarta yang semakin ramai ini.
*terus keputer lagu Jakarta Ramai by Maudy Ayunda*
*terus baper*
Hari-hari gua berjalan seperti biasa,
Bangun tidur, beberes, mandi, ngobrol sama taneman, ngopi, memandangi langit dari balkon, hingga bersiap menuju stasiun kereta. Gua selalu merasa in rush setiap hari.
Apalagi sebagai roker, alias rombongan kereta, gua udah berkutat dengan rutinitas pergi pulang kantor yang dilakukan bersamaan dengan 1.790.947 warga Jabodetabek lainnya. Berbondong-bondong menuju stasiun, kalau bisa lari ya lari, kalau mager ya jalan cepet aja.
Setiap harinya, gua selalu berada di lokasi yang sama di dalam kereta.
Yaitu depan bangku paling pojok dekat pintu keluar, kanan maupun kiri, gerbang manapun. Duduk?
Tentu aja gak. Kecuali lagi sepi banget sampe tempat duduk banyak yang kosong gua baru milih duduk. Kalau jam padat, gua mendingan berdiri aja ketimbang udah duduk musti berdiri lagi karena gak tega sama ciwi-ciwi di kereta.
Biasanya, saat di kereta di pasti baca komik webtoon, nulis draft blog, baca chat whatsapp, denegrin lagu, nonton series, sampai googling apapun yang bisa di-googling. Gak jarang juga cuma bengong menatap jendela di sesaknya gerbong kereta.
Begitu pun malam itu. Gua melakukan rutinitas yang sama.
“Stasiun Universitas Indonesia”
Gua langsung menghentikan bacaan, naro hape di tas, dan segera beranjak menuju keluar. Ah, gua harus mendesak orang-orang di pintu keluar, padahal mereka belum akan keluar. Apa sih, yang ada di pikiran orang-orang yang stuck di pintu keluar padahal masih jauh turunnya?
Gua pengen cepet pulang.
Pintu dibuka.
Gua pengen melangkahkan kaki lebih cepat. Gua capek.
Tapi ada satu orang yang kayak pengen turun tapi gak turun-turun. Biasanya gua dorong gitu aja biar sadar kalau orang di belakangnya harus turun, tapi kali ini beda, gua tetap menunggu orang ini turun.
Mas-mas berjaket hitam.
Sesaat sebelum turun, gua sempat memicingkan mata dan melihat seseorang membantunya turun. Memegang lengannya. Penasaran, gua yang berada di belakang, right after dia turun, mencoba menyamakan langkah.
Mas-mas berjaket hitam ini ternyata tunanetra. Gua tercekat. Hampir keselek. *gagal drama
Gua, yang pengen banget pulang, mendadak melambatkan langkah. Berdiri tepat di sampingnya. Memastikan beliau baik-baik aja sewaktu jalan. Dalam bayangan, gua berusaha membantu mengarahkan jalan beliau sedikit aja, pas kayaknya bakal nabrak tiang di stasiun.
Lalu gua biarkan lagi. Tetap di sisinya. Mencoba membuatnya tak tersinggung.
Saat dia berhasil keluar dari stasiun. Gua melihatnya bergerak menjauh. Sampai gua agak sedih-sedih terharu gitu, menyadari betapa kehidupannya, tentu saja, jauh lebih berat dari apa yang gua jalani selama ini.
Yang masih diberi kelengkapan indera dan anggota tubuh.
Dunia ternyata berputar begitu cepat saat gua, meletakkan pusat dunia ini pada diri sendiri, pada masalah-masalah yang gua alami sendiri, tanpa melihat sekeliling. Tanpa melihat jutaan manusia lainnya punya masalah yang mungkin jauh lebih berat dari gua.
Malam itu, jadi pelajaran yang sangat berharga buat gua.
Saat gua melambatkan langkah, ada orang-orang di sekitar gua yang berjuang jauh lebih keras dari gua. Mungkin tanpa mengeluh, mungkin juga mengeluh tapi karena gua gak lihat, gua akan anggap gak mengeluh.
Saat gua melambatkan langkah, gua jadi terlupa sama para pembenci di luar sana, yang berusaha menempatkan segala jenis label pada orang lain hanya karena gak sepikiran, sepandangan politik, atau seagama.
Saat gua melambatkan langkah, gua jadi lupa bahwa dunia gak segemerlap maupun serusuh media sosial. Gua jadi lebih perhatian sama hal-hal sekitar, yang membuat gua jadi merasa jauh lebih bersyukur sama kehidupan. Bukan malah mengutukinya karena gak berjalan sesuai keinginan gua.
Seperti pertemuan gua dengan mas-mas tunanetra tadi, mungkin Tuhan berusaha mengingatkan gua, betapa masalah yang gua hadapin, mungkin masih gak ada aci-acinya ketimbang hidupnya yang gelap gulita.
Gua mengelap sedikit air yang menetes di ujung mata.
Melangkah lagi.
Dengan perasaan syukur yang semakin besar, serta hati dan langkah yang lebih ringan.
5 thoughts on “Melambatkan Langkah”
Kereeen…thanks…baca artikel di atas serasa di ingetin lagih…harus banyak bersyukur..
Akoh terharu. hiks.
Tp setelah dipikir2, seiring beranjak kita menuju kedewasaan, kalau diberi kesempatan, ke”aku”an di diri pasti berkurang banyak.. kita semakin berpikir tentang orang di sekitar kita.. setelah itu kita berkaca balik, memang ternyata syukur itu wajib. (mungkin ini yg dimaksud hidayah ya bg)
Tapi itu jg kalau kita sadar dan mau dewasa, kalau g yaa gitu2 aja ya bg mungkin idup kitah..
jleb, gw merasa tertampar. karena gw sendiri suka merasa menjadi manusia paling malang sedunia karena begitu banyak hal duniawi yg gw ingin kan tp belum tercapai. padahal diluar sana masih banyak org yg hidupnya jauh lebih keras dibandingkan gw.
Kedua kali gw baca ini, merinding and touching, anak-anak ke kinian please be aware to your surroundings, give attention and help to those who needs. Krn kita gak pernah tau saat kita down doa dr orang yg mana yg pernah kita tolong yang bakal sampai kelangit yang akan membantu kita. Be good, be nice, be happy. Jangan pernah capek berbuat baik ! 👍
huhuhu bapak ini idola remaja deh wkwkw