Halo gaes, udah pernah mendaki gunung sumbing via bowongso belum?
Kalau belum, kita jalan-jalan virtual yuk barengan gua, Acen Trisusanto.
Kebetulan gua baru mendaki gunung Sumbing via bowongso tahun 2019 lalu, jadi masih seger banget lah di ingatan soal pendakian ini.
Sebagai teman jalan kamu saat ini, paling gak gua bisa ngasih gambaran pendakian gunung Sumbing biar kebayang gitu perjalanan kita nanti.

Nah, kamu sendiri berangkat dari mana?
Kalau dari Jakarta, kita bisa berangkat bareng naik kereta api menuju Purwokerto.
Waktu itu sih gua naik kereta ekonomi premium, Fajar Utama YK, kalau gak salah yang seharga 150-ribuan dan di hari biasa, bukan weekend.
Tahun lalu gua masih freelance, bukan pegawe kantoran, jadi bisa kemana-mana kapan aja. Iri ga?
Jangan iri, biasanya kalau punya banyak waktu, gak punya banyak duit, hahaha
Jarak tempuh dari Jakarta ke Purwokerto naik kereta kalau gak salah sekitar 5-6 jam aja. Waktu itu gua inget banget, berangkat subuh-subuh dari stasiun Pasar Senen, sampai stasiun Purwokerto udah siang jam 11-an.
Mana segerbong sepi banget pula! Bisa pindah-pindah tempat duduk seenaknya, milih-milih samping jendela biar seger pemandangan di mata.
Sesampainya di Purwokerto kita bisa langsung lanjut ke Wonosobo naik angkutan terusan mini bus/ELF yang udah disediain PT. KAI. Mini Busnya nyaman bener, maksimal penumpang cuma 8 orang pula. Harganya relatif murah, cuma 70k aja sampai terminal Mendolo Wonosobo.
Tapi yang namanya angkutan terusan, mendingan kita booking dulu deh biar gak ketinggalan terus malah jadi molor mendaki gunung sumbing via bowongso-nya.
Kita bisa booking lewat telpon atau lewat online travel agent. Soalnya, waktu keberangkatan angkutan terusan itu terbatas banget, dengan animo penumpang yang lumayan tinggi. Jangan sampai ketinggalan deh.
Jadi keingetan kan bertahun-tahun lalu ke Wonosobo lewat Purwokerto, sebelum ada mini-bus ini, musti bertahan naik bis lokal. Lebih murah memang, tapi bisa berdiri sepanjang perjalanan yang kurang lebih makan bisa makan waktu 3-5 jam!
Seru mungkin kalau masih muda, kalau udah ‘ada umur’ mending yang santuy-santuy aja lah ya hahaha.
Tapi, selain lewat Purwokerto, menuju Wonosobo juga bisa lewat Jogjakarta. Jadi, dari Jakarta ke Jogja bisa naik apa aja, lanjut naik bus juga ke Wonosobo.
Atau, kamu tau cara alternatif menuju Wonosobo?
Kalau gitu, yuk kita langsung ketemu di terminal Wonosobo aja ya!
Kita udah sampai nih di Wonosobo!
Mau langsung ke basecamp gunung Sumbing via Bowongso atau santai-santai istirahat dulu?
Istirahat dulu aja deh ya, ngelempengin kaki sekalian belanja-belanja logistik buat pendakian gunung Sumbing nanti. Aduh, keceplosan jadi pendakian. Tadi kan katanya cuma jalan-jalan ya? Hihi.
Biasanya, kalau belanjaan gua buat naik gunung, gak pernah jauh-jauh dari: air mineral secukupnya, tolak angin, vitamin c, roti-keju-sosis-spageti, cemilan-cemilaan, minuman berasa-rasa, coklat, permen, madu, udah-udah kebanyakan. Nanti kerilnya berat, apalagi kalau cuma nginap semalam.
Makanan lainnya bisa dibeli lengkap lah di basecamp, ada warung warga lokal dan bisa sekalian pesen nasi rames dengan lauk pauk penuh gizi gitu.
Sekadang informasi, jalur pendakian gunung Sumbing via Bowongso ini lagi populer banget beberapa tahun belakangan. Katanya lebih santuy dari jalur Garung yang penuh dengan tanjakan, makian, dan hinaan.
Sejujurnya sih gua belum pernah naik gunung Sumbing lewat jalur Garung. Jadi ga bisa kasih perbandingan yang tepat.
Tapi kalau lewat jalur Bowongso, menurut gua, memang jalurnya landai dan menyenangkan. Detailnya gua ceritain nanti, sekarang kita cari makan dulu yuk, udah laper nih!
Gimana mie ongkloknya tadi? Enak?
Gua sendiri sih suka, tapi kalau sate sapinya gak. Haha, maklum gua ga makan daging merah. Ini makanan khas Wonosobo yang musti dicobain kalo belum pernah ke sini.
Ada satu lagi, carica khas Dieng. Eh, itu khas Dieng ding bukan Wonosobo, tapi deket lah. Biasanya juga kayak ada yang kurang gitu kalau gak beli carica di Wonosobo.
Udah kenyang kamu, logistik juga udah lengkap kan ya?
Yaudah yuk kita ke basecamp Bowongso sekarang! Ya karena kita cuma berdua, pesen gojek aja lebih murah.
Lho, jangan kaget!
Emang udah ada gojek yang bisa nganterin kita langsung ke basecamp Bowongso. Bisa juga pakai ojek lokal kalau mau. Harganya sebenernya ga jauh beda, sekitar 50k per sekali jalan kalau ga salah ingat.
Nanti, kalau ke sini ramean, kita bisa cari carteran angkot atau pick-up buat nganterin kita ke basecamp Bowongso. Jadi bisa lebih murah. Yuk berangkat!
Lumayan jauh ya dari Terminal Wonosobo ke desa Bowongso? Bikin pantat rada tepos memang hihi. Tapi gapapa ya, ketolong sama pemandangan desa yang masih hijau dan asri!
Tadi ngeliat banyak daun-daun dijemur kan? Itu tuh daun tembakau.
Warga desa Bowongso emang banyak yang jadi petani tembakau dan katanya sih terkenal banget ini tembakaunya. Pernah baca artikelnya, tembakau khas Bowongso ini harganya mahal tapi banyak dicari. Ntar kalau ada waktu kita tanya-tanya warga yuk soal tembakau ini.
Tapi yang gua tau pasti, kopi item Bowongso itu enak bener! Rasanya fruity dan aromatic gitu!
Gua tau soal kopi bowongso gara-gara pas terakhir ke sini dikasih tau sama driver gojek buat cobain. Katanya sih juga bisa meningkatkan gairah pria. Hahahaa. Segala-galanya ningkatin gairah ye.
Kenyataannya ga meningkat-meningkat amat sih gairah, cuma seger aja gitu di mulut dan badan.
Anyway, ada prosesi menarik yang harus kamu tau soal mendaki gunung Sumbing via Bowongso ini.
Sesampainya di basecamp bowongso, kita harus mendaftar simaksi alias surat izin mendaki, komplit dengan nitipin KTP, nge-list dan nulis semua barang2 yang kita bawa (terutama yang menghasilkan sampah, harus dibawa kembali sampahnya, kalau gak, bakal kena denda dengan ngambil lagi sampahnya, mlz banget kan) di formulir.
Terus kita dikasih Handy Talky (HT) buat menghubungi basecamp bowongso kalau ada apa-apa selama pendakian, dan ini nih yang menarik: kita dibekali seplastik kecil kopi dan santan. Yang katanya dipercaya biar kita ga diganggu dan dianggap sahabat oleh makhluk-makhluk penghuni gunung Sumbing. Lebih aman gitu, deh.
Bikin deg-degan tapi asik ya? Asik palelu, serem iya.
Setelah itu ada briefing juga soal jalur pendakian gunung Sumbing via Bowongso, kita dikasi selembaran peta, mana-mana aja yang gak boleh dilewati, dikasi wejangan kiat-kiat mendaki juga, dan ditawarin pula apa kita mau pakai ojek lokal buat perjalanan dari basecamp menuju pos 1 atau gak.
Gua sih milih naik ojek aja.
Mengingat perjalanan dari basecamp bowongso ke Pos 1 Taman Asmara itu ngabisin tenaga banget. Gak terjal-terjal amat tapi nanjak terusss lewatin ladang penduduk dan jalan berbatu, yang gak ada habisnya.
Iya aja deh ya?
Sekali jalan cuma 25 ribu rupiah kok. Kita bisa sekalian kasih rezeki ke warga setempat kan?
Nah, berhubung perjalanan hari pertama kita aja udah panjang banget nih, mendingan kita sekarang istirahat dulu.
Pak RTnya baik banget tuh, udah kasih kita tumpangan nginep buat malem ini. Kita isi tenaga, biar besok subuh bisa langsung mulai pendakian gunung Sumbingnya.
<kamu juga bisa mendengarkan cerita bagian pertama mendaki gunung Sumbing via Bowongso di podcast berikut ini>
Halo, udah jam 5 pagi nih. Yuk siap-siap buat memulai pendakian gunung Sumbing via Bowongso hari ini!
Kalau sesuai info dari basecamp bowongso, perjalanan kita hari ini bakal panjang bener.
Jangan sampai kita berangkat kesiangan ya, biar gak kejebak malem di jalan. Inget yang udah kita obrolin semalem kan?
Paling gak, kita bisa sampai di camp Gajahan biar lebih deket sampai puncak.
Yaudah sini gua ulangin lagi rencana kita, kalau based-on peta sih, kita bakal menempuh total jarak 4,2 kilometer hari ini.
Kayaknya deket banget ya?
Tapi mendaki gunung kan bukan soal jalan lurus ke depan, yang cuma lempeng doang, tapi kebanyakan vertikal. Nanjak-nanjak-nanjak tau-tau engap hihi.
Nih, catetan gua buat jalur-jalurnya:
- Dari BASECAMP ke PARKIRAN SWADAS itu jaraknya 2 kilometer, perkiraan waktu tempuh 1 sampai 2 jam. Tapi karena kita naik ojek kan, perkiraan cuma 15 sampai 30 menit
- Dari PARKIRAN SWADAS ke GARDU PANDANG cuma 500 meter, perkiraan waktu tempuhnya 15 sampai 30 menit juga, pengalaman gua taun lalu sih, ini tanjakannya udah lumayan bikin napas engap.
- Kalau dari GARDU PANDANG ke POS 1 TAMAN ASMARA, jaraknya 400 meter, tapi perkiraan waktu tempuhnya satu jam lebih perjalanan, tergantung kaki kita melangkah.
- Dari POS 1 TAMAN ASMARA menuju CAMP PLALANGAN jaraknya juga singkat, cuma 600 meter. Waktu tempuhnya juga sekitar satu jam. Nanti kita bisa istirahat di sini dulu, makan siang gitu sebelum melanjutkan jalan ke POS GAJAHAN. Kayak namanya, camp plalangan juga tempat ideal buat ngecamp. Cuma masih terlalu dini ya? Agak kejauhan dari puncak.
- Dari CAMP PLALANGAN ke POS 2 BOGEL, jaraknya 500 meter. Tapi ini bukan 500 meter biasa, bukan bermaksud ngelemesin semangat, tapi emang medannya ini keparat banget. Vertikal mulu gak ada horizontalnya. No bonus. Waktu tempuh sekitar 2 jam. Signifikan ya bedanya?
- Dari POS 2 BOGEL ke CAMP GAJAHAN, tempat kita ngecamp nanti, jaraknya juga cuma 700 meter. Tapi… dibutuhkan waktu 2 jam buat sampai.
Jadi, total perjalanan hari ini 7 jam, plus istirahat sejam, total 8 jam deh. Wow kayak office hours ya?
Udah siap kan?
Yaudah yuk, sekarang kita bangun, mandi, repacking, terus sarapan. Kamu duluan atau aku nih yang mandi?
Kenapa kok mukanya kayak sebel gitu bukannya seger? Hahaha airnya dingin banget ya?
Ngangenin tau air di basecamp pegunungan kayak gini. Kalau pas mandi emang rasanya bikin pengen ngomel-ngomel. Tapi habis mandi badan jadi kerasa lebih anget gitu.
Tinggal di basecamp kayak gini, mandi air dingin, sebenernya jadi salah satu cara kita buat aklimatisasi, atau membiasakan tubuh kita dengan udara di pegunungan sebelum mendaki.
Ya, idealnya emang kalau naik gunung kita itu musti aklimatisasi dulu sih. Nginep semalem di basecamp sebelum nanjak, santai-santai ngobrol sama pendaki lain atau penduduk desa, gali informasi lebih yang bikin makin semangat mendaki.
Mungkin, karena di Indonesia karena suhu dinginnya ga terlalu ekstrim kayak di luar negeri, bikin kita jadi sering melewatkan prosesi ini. Begitu sampai basecamp langsung naik, terus jadi ga tahan dingin dan rentan kena hipotermia pas malem-malem di gunung.
Atau emang buru-buru aja karena dapet cutinya cuma dikit? Hihi. Tapi untungnya kita lagi gak keburu-buru banget kan ya?
Sini, gua bantuin repacking.
Jaket tidur sekaligus jaket buat muncak subuh nanti, kalau perlu dan gak tahan dingin bawa sarung tangan, baju dan celana tidur, ini baju yang kamu pakai pastiin dry-fit ya, jadi bisa dipake terus setiap hari, biar enteng bawaannya.
Senter jangan lupa ya, obat-obatan pribadi, sikat gigi (biar mulut ga bau busuk), sunscreen jangan lupa, lho, bukan biar kamu gak item. Tapi biar kulit gak kebakar aja.
Kacamata item bawa kan? Selain biar gaya, biar mata kita gak kena sinar UV langsung. Bahaya tau bisa bikin katarak.
Kamera, powerbank, jangan dilupain. Barang berharga juga dibawa. Nanti kita titipin aja ini yang gak kebawa di basecamp, kayak baju sisa, logistik sisa. Udah semua kan?
Nah, kalau buat nata kerilnya, biasanya gua naro sleeping bag dulu di paling bawah, gak akan dipakai juga selama perjalanan. Terus di atasnya sandal jepit, baju-baju dan jaket.
Air buat ngecamp kalau bisa pas di bagian dalem keril, jadi punggung kita yang nanggung beban beratnya air. Air di luar nanti kita taro kanan kiri tas biar seimbang.
Makanan buat ngecamp ini taro setelah air, terus cemilan di atasnya. Obat-obatan taro di kepala keril aja. Sekalian sama senter, sarung tangan, buff (masker) biar gampang diambil.
Eh iya lupa, kompor, gas, sama nesting (itu perpancian buat masak di gunung) selipin aja di atas baju-baju. Kalo cukup, bahan2 makanan juga selipin aja di dalem nesting biar hemat space.
Udah cukup nih kayanya. Eh, trashbag gak lupa dibawa kan? Buat bawa sampah-sampah kita nanti.
Matras sama tenda gimana?
Oh, hampir aja lupa. Untungnya kita ultralight, jadi udah gua selipin di dalem keril nih. Tenda cukup buat dua orang lah, sama matras tiup dan matras aluminium juga bisa masuk di keril ukuran 40-50 liter gua ini.
Tapi frame (atau kerangka) buat tendanya ya tetep ditaro luar, samping kanan dan kiri keril.
Kalau bawa tenda buat 4 orang lebih mah harus bawa keril ukuran 60 liter ke atas. Gak mungkin cukup ini keril yang sekarang. Apalagi kalau tendanya gak ultralight.
Dulu sih, semakin gede ukuran kerilnya semakin bangga. Semua-semua dibawa. Baju ganti sampe bisa buat fashion show kali saking banyaknya.
Tapi, sampe tempat ngecamp punggung sama bahu rasanya mau potek. Hahaha.
Udah semua kan ini?
Ya udah yuk kita sarapan dulu, tadi pas kamu mandi, gua udah pesenin sarapan sekaligus bungkus nasi rames buat makan siang kita. Mau sekalian bungkus nasi buat makan malem?
Semoga pendakian gunung Sumbing via Bowongso kita kali ini lancar dari naik sampai turun kembali ke basecamp, tanpa ada halangan dan kejadian macam-macam. Amin.
Hehe iya, emang gua gak terlalu relijius sih, tapi udah jadi habit aja berdoa sebelum mendaki gunung hihi. Udah kabari orang rumah belum kalau hari ini kita mulai mendaki?
Sekarang jam 6 pagi, masih seger-segernya nih, gak kesiangan juga lah kita. Eh itu ojeknya udah dateng. Yuk kita berangkat sekarang!
Gimana?
Amazed ya udah lama gak liat pohon pinus? Hihi, mau bikin instastory dulu, apa langsung jalan?
Setuju, sambil jalan aja ya kita sambil foto-foto dan bikin video. Lumayan, buat stok konten pulang dari sini.
Padahal sebelum ke sini gua rajin olahraga. Tapi ternyata ngos-ngosan juga yah haha. Untung udaranya seger banget tanpa polusi. Jadi bisa sepuas-puasnya ngisi paru-paru pakai oksigen bersih, yakan
Iya, kayak yang gua bilang tadi, jalur pendakian gunung Sumbing via Bowongso emang medannya diam-diam nanjak. Kapan istirahatnya?
Bentar lagi, gua ingetin lagi ya, kita gak boleh ngeluh capek dan dingin, katanya penunggu Sumbing malah bakal bikin kita kecapekan dan kedinginan beneran kalau kita ngeluh.
Tuh udah keliatan pondokannya. Gardu Pandang itu. Nah, kita istirahat di sini sebentar sembari foto-foto ya.
Keliatan kan pemandangan dari Gardu Pandang ini. Cerah banget ya. Itu di bawah ada kota Wonosobo tuh. Nah, kalau gunung yang gede banget di depannya itu, Gunung Sindoro tuh.
Apa gak usah lanjut muncak? Kita ngecamp di sini aja? Toh pemandangannya udah bagus juga kan? Hahaha
Becanda, sayang amat dong kalau kita gak jadi muncak. Udah jauh-jauh sampai sini kan?
Nih gua kasih bocoran biar makin semangat: Camp Plalangan pemandangannya jauh lebih mantul dari ini! Yuk, lanjut perjalanannya.
https://www.instagram.com/p/B1vLOUVgBQf/
Dari sini ke Pos 1 – Taman Asmara harusnya udah deket sih. Meskipun diam-diam nanjak, bukan diam-diam cinta yah, tapi jalur pendakian dari Gardu Pandang ke Pos 1 Taman Asmara bahkan sampai ke Camp Plalangan ini adem, medannya hutan terus.
Cuma gak enaknya kalo lagi musim kering begini jadi banyak debu.
Eh, nah itu Pos 1 – Taman Asmara, kita ngadem bentar di sini ya.
Gua jadi inget, saking butanya baca peta, padahal peta yang dikasih sangat simpel dan udah jelas banget gitu, tapi gua tetep salah sangka kalau ini Pos 1 Taman Asmara adalah Camp Plalangan.
Gua malah komen begini: dih, kecil bener gini, mana muat buat seribu tenda?
Terus begitu sampai Camp Plalangan beneran, gua jadi ngebatin: yeu sianjir, berarti yang tadi bukan Camp Plalangan??
Hahaha, tenang, gak semua orang yang hobi naik gunung bisa baca peta kok. Salah satunya gua. Bukan sesuatu hal yang bisa dibanggakan sih.
Tapi, biasanya gua punya trik biar gak gampang kesasar: ngikutin jejak sampah.
Sedih emang di gunung masih ada aja yang nyampah, cuma kadang jadi kayak blesssing in disguise gitu. Pas ngeliat ada jejak sampah, gua yakin jalan ini yang bener. Sambil jalan lagi yuk!
Dari Pos 1 Taman Asmara ke Camp Plalangan ini, meskipun nanjak terus sebenernya jalur yang paling landai sih menurut gua.
Udah deket lagi nih Camp Plalangan sampai.
Apa? Pendaki gunung biasanya suka PHP? Bilang udah deket kenyataannya masih jauh?
Ahahaa, itu gak salah, soalnya kan biar jadi motivasimu gitu lho. Tapi kalau yang ini beneran udah deket kok.
Tuh, udah mulai banyak rumpun berbunga-bunga warna ungu tuh. Iya, itu lavender-lavenderan alias bunga verbena.
https://www.instagram.com/p/B1OJ-EYgjMI/
Dulu, lupa tahun berapa, 2016 mungkin?
Bunga ini pernah trending tuh di instagram, gara-gara di Oro-Oro Ombo Gunung Semeru, banyak yang metikin bunga ini, terus selfie, di post di instagram, langsung heboh seantero pertengkaran jagat maya dunia pendakian jadi rame.
Dimulai dari banyaknya makian pendaki kok metikin lavender padahal ada slogannya, jangan ambil apapun selain foto, sampai ketauan ini bukan bunga lavender dan boleh dipetik, akhirnya para pendaki strike back dengan lebih sering metikin bunga verbena ini, trus dipost di instagram pake caption nantang dunia kayak, ini verbena anjir boleh dipetik! Gitu-gitu deh…
Gua sih sebagai pengamat sosial media sekaligus orang yang suka mendaki, cuma mikir: orang kok senengnya berantem yah?
Bagusnya dari kasus ini jadi ada informasi kalau bunga di oro-oro ombo adalah bunga verbena dan boleh dipetik. Tapi apa faedahnya jadi nyerang balik cuma gara-gara gak mau disalahin?
Padahal kalau baca-baca artikel, memang bunga verbena boleh dipetik karena termasuk tanaman semak tahunan berumur pendek yang bisa dianggap hama dan bersifat invasif, tapi ternyata habitatnya si verbena di oro-oro ombo ini justru lagi dikendalikan, biar ga makin nyebar, dan akhirnya tumbuh seantero semeru malah jadi merusak ekosistem.
Apa dengan metikin ini bunga ga takut bikin nambah nyebar ya?
Lagian, apa gak cukup dengan foto-foto aja gitu di sekitar bunga verbena. Toh yang kita butuhin kan cuma eksistensi dunia maya. Metik-metik bunga buat dibuang-buang juga apa gunanya, gak sih?
Yeeee, ngangguk-ngangguk aja kamu.
Foto gih!
Nah, tuh, pas di bawah pohon itu, duduk aja itu di batang pohon yang tumbang di sekitar verbenanya.
Bentar-bentar, gua liat dulu biar pas gunung Sindoronya keliatan cakep. Aduh awannya… langitnya… cerah bener
Udah pas nih moment-nya, yuk, 1.. 2.. Senyum!
Selamat datang di Camp Plalangan~
Ini baru nih bisa buat bikin ribuan tenda. Gua jadi inget sama track gunung Rinjani via Sembalun.
Pemandangannya khas banget kayak jalur bowongso ini nih. Kamu liat kan sabananya luas bangeeeeet! Persis kayak Sembalunnya gunung Rinjani.
Sejauh mata memandang, cuma ada hamparan ijo sampai titik tertinggi gunung sumbing.
Tuh, di sebelah kiri itu, puncak Rajawalinya yang paling tinggi agak kanan itu. Kalau gak salah ya hahaha.
Nah, camp gajahan itu somewhere di lekukan lereng agak nanjak itu.
Etapi jangan salah, dari bawah sini emang lerengnya keliatan agak landai, padahal… kalau nanti dijalanin, itu lebih dari 45 derajat kali saking miringnya. Bawaannya kalo nengok terasa bisa nggelinding kapan aja lho~
Wah, masih jam 9 pagi nih. Kepagian juga ya kita sampe Camp Plalangan ini.
Mau explore Camp Plalangan dulu? Kita bisa ambil banyak konten di sini sih.
Mau yang backgroundnya Sabana ijo-ojo, bisa. Mau background langit biru, awan putih, gunung Sindoro megah, bisa. Mau yang mana? Yang gunung Sindoro aja? Oke.
Eh, tapi kita belum punya foto berdua nih. Selfie yuk?
<kamu juga bisa mendengarkan cerita bagian kedua mendaki gunung Sumbing via Bowongso berikut ini>
Kalau kamu udah mulai ngantuk dan mau tidur, masuk tenda duluan aja ya.
Gua masih kangen juga sama hawa-hawa dingin pegunungan begini.
Mumpung langitnya lagi bersih ga pake awan, jadi bintang-bintangnya pasti cakep banget! Bakal ada milky way juga. Sayangnya gua ga bisa motret milky-way hihi.
Sebenernya gua lebih seneng tidur cepet kalau lagi pendakian kayak gini, tapi malam ini gua lagi kepengen menikmati gunung Sumbing lebih lama.
Kamu mau masuk tenda sekarang? Yaudah masuk duluan gih!
Gua mau nostalgia dulu sama pendakian gua di tahun lalu.
Flash Back:
Sebenernya, ada yang menganggu pikiran gua sejak nerima bingkisan kecil berisi kopi dan santan cair ini di basecamp.
Entah kenapa, begitu megang kopi dan santan ini, perasaan gua rada gak enak. Mendadak merinding juga.
Sedikit background cerita, sejak SMP-SMA gua emang beberapa kali pernah mengalami kejadian-kejadian gaib.
Tapi menghilang begitu mulai kuliah.
Entah emang pudar begitu aja atau emang gara-gara nge-suggest diri sendiri kalau gua ga mau ngerasain atau ngeliat-ngeliat yang gaib-gaib lagi.
Tapi sejak pendakian pertama di gunung Merbabu 2010 silam, kejadian gaib samar-samar mulai gua rasakan lagi, terutama pas naik gunung.
Kayak pendakian gunung Sumbing via Bowongso ini.
Setelah terima kopi dan santan cair, isi kepala gua mulai mengada-ada. Selain emang ‘bisa’ dan ‘pernah’ dalam tanda kutip mengalami kejadian gaib, gua juga sering melebih-lebihkan isi pikiran gua. Overthinking, lah.
Nanti gimana kalau ternyata emang Sumbing semistis omongan orang-orang? Gimana kalau gua beneran ketemu penunggu Gunung Sumbing?
Denger-denger emang ada makan kan di puncaknya? Jangan-jangan nanti gua ngeliat bayangan item lagi? Atau malah ketemu pendaki tanpa kepala kayak yang pernah gua baca di kaskus?
Aduh, anjir gua belum ready ngerasain gitu-gitu lagi.
Lagi gak kepengen-kepengen amat ketemu yang begituan. Ini belum manjat aja udah kenceng amat aura mistisnya, tolong.
Wah pikiran gua mulai kejar-kejaran kemana-mana.
Sebenernya, jujur, gua udah mulai berdamai sama hal-hal begini sejak gua mulai meragukan apa yang gua alami itu kenyataan atau ketakutan berlebihan yang akhirnya justru mewujud.
Kayak law of attraction gitu, saling tarik menarik.
Karena lo ketakutan, akhirnya lo justru malah merasakan apa yang lo takutkan.
Gua sadar betul buat mengatasi perasaan kayak gini, caranya adalah gak mikir macem-macem. Tapi pada dasarnya gua overthinking, rada susah kalo udah ke-trigger.
Triggernya sepele pula, mulai dari bingkisan dan kopi cair begini.
Sejak nerima bingkisan kopi dan santan cair, ditambah ada dua kata sakti yang gak boleh disebut, yaitu “capek” dan “dingin” gua mulai punya feeling gak enak…
Dan bener aja, gua gak tau sejak kapan, lupa, atau bahkan sama sekali gak aware, kayaknya temen sependakian gua ini pernah nyebut “capek” dan “dingin”, sehingga dia dapet ganjarannya.
Kalau gua, saking overthinkingnya, juga ada aja yang gua rasain.
Entah emang karena mendaki di hari biasa atau emang lagi sepi aja, selama pendakian dari parkiran swadas ke camp plalangan, gua sama dia emang bener-bener cuma berdua. Gak ada pendaki lain.
Paling cuma ketemu sama penduduk setempat waktu masih ketemu ladang sebelum pos gardu pandang.
Meskipun cuma berdua, ini anak jalannya kenceng banget. Tapi gua akuin ni anak ritme emang ritme jalannya stabil, keliatan sering olahraga, kaki dewa lah kalau di dunia pendakian sebutannya.
Gua hampir selalu ketinggalan di belakangnya. Tapi emang gua juga agak santai sih jalannya.
Dari pos Gardu Pandang ke Pos 1 Taman Asmara kan jalananannya nanjak santuy tapi medannya hutan karet campur pinus. Jadi emang agak ketutup. Untung masih pagi, masih terang benderang.
Tapi meskipun masih pagi, gua gak bisa berhenti nengok-nengok terus ke belakang.
Asa ada yang ngikutin gitu. Kayak ada yang ngikutin.
Dikit-dikit gua juga celingukan kanan kiri, kayak ada yang ngeliatin. Masih pagi lho itu.
Pas sampai ke Pos 1 Taman Asmara, gua mendadak langsung ada feeling: masa iya ini bisa buat ngecamp 1000 tenda? Paling cuma 4 tenda? 996-nya apakah tenda tak kasat mata?
Imajinasi gua udah berlebihan and beyond kayaknya.
Jalan terus sampai ke camp plalangan, gua ngeliat banyak tenda di zona hutan-hutannya camp plalangan.
Tadinya mau lanjut terus, tapi berhubung ada warga desa yang lagi patroli dan ngasi warning kalau kami gak boleh nginep di camp gajahan karena lagi angin banget, jadinya kami harus nginep di camp plalangan.
Karena di zona hutan tadi penuh, gua sama temen gua nyari spot kosong di bawah pohon deket jurang, ya ga deket-deket banget sih, cuma agak nyempil aja. Dan bertetangga dengan satu tenda lainnya. Tapi gak deket-deket banget.
Jadi kaya ada satu petak tanah di sekelilingnya ada ilalang, pohon tumbang, dan pohon kering meranggas. Terus kami bangun tenda di bawah pohon kering tadi. Pintu tenda ngadep ke arah jurang, kiri tenda pohon kering, kanan tenda pohon tumbang. Terus, lanjut masak, foto-foto, ngobrol ngaco, macem-macem lah dari pagi sesampainya di camp plalangan, tau-tau udah sore aja.
Dari sini lah satu per satu kejadian dimulai.
Temen gua, mendadak ngeluh kedinginan dan kecapekan dari yang tadinya gak kenapa-kenapa.
Pas gua bilang: “heh, kan gak boleh nyebut dingin sama capek, ntar lu kedinginan ma kecapekan beneran lho!”
Dia: “lha emang gua kedinginan sama kecapekan beneran, emang ga boleh apa? Wajar kali namanya mendaki gunung.”
Gua: “ya bener juga sih emang sebuah keluhan yang wajar…”
Tapi semenjak dia mengeluh, perasaan insecure gua mulai menjadi-jadi. Bikin merinding terus-terusan.
Sore menjelang maghrib, karena kedinginan, temen gua terus2an tidur di tenda. Sementara gua lagi ala-ala bikin video sunset.
Pas gua lagi muter-muterin badan bikin video, kebetulan gua ngeliat ke arah tenda, tau-tau ada bayangan item gede banget di samping tenda. Tepatnya di bawah pohon.
Gua langsung ANJRIT!
Terus gua langsung pura-pura bikin video dan muterin badan lagi.
Pas balik badan ke arah tenda dan pohon lagi, bayangan itemnya udah ilang.
Gua langsung nenangin diri: tuh kan, overthinkingnya mulai lagi. Gak ada apa-apa kok.
Akhirnya gua masuk tenda, selain makin dingin, gua pengen liat temen gua.
Ternyata dia udah tiduran pake sleeping bag segala.
Malemnya, gua kebelet buang air besar. Pas gua ngeliat jam, baru jam 7 malem sih, tapi namanya di gunung. Udah gelap banget.
Cuma untungnya gara-gara pas sunset lagi berawan, pas malemnya langit, bulan, dan bintang lagi terang benderang. Jadi gua memaksakan diri buat cari tanah rada jauh dari tenda buat digali.
Saking kebeletnya, gua gak keingetan sama sekali sama kejadian sore tadi. Gua cuma fokus menggali tanah. Biar cepet-cepet kelar panggilan alamnya.
Nah, pas lagi asik-asiknya, mendadak ada banyak suara orang ngobrol beberapa blok dari kavling tenda gua. Kayak para pendaki yang baru sampe terus ngebahas mau lanjut naik apa gak.
Berhubung gua inget kata warga lokal siang tadi gak boleh ngecamp di atas gara-gara lagi angin kenceng, gua jadi pengen ngasih tau mereka. Kebetulan, panggilan alamnya juga udah mau kelar.
Jadi ya, gua buru-buru bersih-bersih, lap-lap, ngubur bekas galian, terus nyamperin arah suara.
Pas waktu nyamperin, suara obrolannya masih lumayan kedengeran kenceng di telinga.
Tapi, semakin gua samperin kok suara obrolannya makin jauh. Makin gua samperin malah makin ilang. Gua sampe mikir, apa udah kelar ya obrolannya? Tapi kok kayaknya ni tenda-tenda di sekitar juga sepi banget gak ada obrolan. Kayak gak ada tanda-tanda pernah ada orang baru dari sini juga.
Padahal jarak antara gua beberes dan orang-orang ini ngobrol gak terlalu lama, harusnya ya kalau masih kedengeran mereka masih stay di sini atau mereka udah lanjut jalan, masih keliatan lah rombongannya.
Tapi gua akhirnya memutuskan balik lagi ke tenda. Berusaha ga overthinking, berusaha gak mau mikir macem-macem.
Abis balik ke tenda, gua ngeliat temen kayak udah bangun. Jadi gua ajakin makan aja. Tapi karena di gak mau, yasud gua makan sendiri.
Abis makan, karena gua masih belum ngantuk, dan ngeliat langit kok bintangnya makin keren. Kayak milky way gitu. Jadi gua putusin buat ambil teh botolan, hp, dan senter buat nontonin bintang sambil dengerin lagu folk2 yang cocok buat suasana begini.
Di samping tenda kan ada pohon tumbang, nah gua duduk di situ. Sambil milih-milih lagu, nyetel, ngedengerin, trus ngeliat bintang-bintang, gua menikmati juga hawa-hawa dingin gunung yang ngangenin sambil merem-merem…
Sampai tiba-tiba gua merinding banget. Awalnya gua mikir ya wajar lah merinding orang lagi dingin. Tapi merindingnya dimulai dari kaki, naik ke paha, naik ke punggung, sampai ke leher.
Gua mendadak inget pernah denger dari temen gua yang lain pas SMA, kalo kita merinding dari kaki sampai ke leher, pelan-pelan, ada makhluk gaib yang lagi ada di sekitar. Dari jarak 10 meter sampai ke 1 meter.
Terus gua melek.
Dan bayangan hitam gede banget yang gua liat tadi siang muncul lagi di bawah pohon deket pintu tenda. Kalau diitung sih, jarak dari itu pohon sampe pohon tumbang ada sekitar 5 meter.
Entah saking takutnya atau penasaran, gua malah ngeliatin terus sosok bayangan hitam gede banget itu. Nungguin ilang tapi kok gak ilang-ilang. Akhirnya gua kalah, trus nunduk sambil jalan pelan-pelan. Gua komat-kamit terus baca doa ayat korsi diulang2 sampe berhasil masuk tenda.
Entah kenapa emang tenda jadinya dingin banget, temen gua udah ngorok. Dan langsung buru-buru pake baju berlapis, pake headset, trus berusaha tidur cepet sambil dengerin lagu saking takutnya.
<kamu juga bisa mendengarkan cerita bagian terakhir mendaki gunung Sumbing via Bowongso di podcast berikut ini>
Tadi kamu sempet nanya kan, masih jauh atau nggak ini puncaknya?
Mau jawaban jujur atau jawaban bohong?
Hahahaa, abisan kan kemarin kamu bilang, katanya para pendaki itu juaranya PHP. Makanya gua nanya nih sekarang, mau dijawab jujur atau bohong?
Jujur deh ya, sebenernya emang sebentar lagi. Ini medannya udah berubah banget, kita pun udah ngelewatin tanjakan berpasir tanjakan PHP. Dari medan kosong melompong yang ada cuma ilalang.
Sekarang kita udah sampe ke medan bebatuan… Bentar lagi pasti sampai Pos 3 Zorro.
Terus, itu tuh udah mulai keliatan pohonnya, tau kan ini pohon apa? Iyak, ini pohon edelweiss. Yang bunganya dibilang bunga abadi itu.
Pohon edelweiss emang biasanya jadi pertanda kalo kita udah lumayan deket puncak, soalnya dia tumbuh mulai dari ketinggian 2000 mdpl ke atas.
Nah, ini dia udah sampe Pos 3 Zorro.
Abis ini sebentar lagi kita mendaki dikit lagi, ngabisin Tanjakan Siginjel. Terus kita mampir dulu ke Puncak Buntu. Pemandangannya gak ada duanya di situ.
https://www.instagram.com/p/B1WCCsGAIxT/
Tahun lalu kebetulan dapet cerah dan jadi salah satu sunrise terbaik gua di tahun 2019.
Gua masih inget banget perasaan gua waktu itu. Ngeliat bibir kawah puncak buntu untuk pertama kalinya, diiringi sama sinar matahari yang mulai merekah, bikin senyum gua sumringah.
Kalau ada orang bilang, kenapa susah-susah naik gunung buat turun lagi, jawabannya adalah karena ada sekeping surga yang bikin semua rasa lelah hilang setelah pendakian panjang.
Rasa capek, ngantuk, pegel, takut gelap, ragu, pengen pulang, semua lenyap gitu aja waktu ngeliat lautan awan terpampang nyata di depan mata.
Bawaanya pengen ikut terhanyut.
Gagahnya gunung Sindoro di depan mata juga gak kalah bikin mulut berdecak-decak gak berhenti-henti.
Gua jadi sadar kenapa ada peribahasa yang bawa-bawa memeluk gunung, karena ya emang, rasanya saat itu gua pengen banget meluk gunung Sindoro.
Kayak, hei Sindoro, apa kabar?
Gua juga kangen sama lo, masih boleh nyamperin lagi kan next time?
Sekarang, gua menikmati lo dari Sumbing dulu ya?
Jijik sih kadang, tapi pernah gak sih kamu ngerasain kayak lagi ada di ending-ending film yang bahagia. Kayak kamu merasa lega akhirnya semua konfliknya berakhir.
Setiap gua naik gunung, ini yang gua rasain. Gua kayak lagi ada di film gua sendiri. Gua bisa senyum-senyum sendiri, sambil merem, terus menikmati terpaan angin, yang sebenernya dingin. Tapi kalau khusyuk dinikmatin kayak lega banget gitu….
Trus… sembari merem-merem, degupan jantung gua mendadak berubah jadi backsound. Lagu-lagu kesukaan gua mendadak muter di kepala.. Kedengeran di telinga, kayak gini…
Sebentar lagi udah mau sampe nih Puncak Tertingginya Gunung Sumbing: Puncak Rajawali, 3371 Mdpl (meter di atas permukaan laut).
Pelan-pelan aja, emang ini tebingnya lumayan bikin panik.
Hahah gua masih inget tadi muka kamu pucet banget pas kita harus muterin tebing, cuma pake tali-tali.
Ya emang gua juga rada jiper sih kalau lewatin tebing begitu, mana otomatis bawaannya ngeliat bawah mulu kan ya?
Yang gua gak abis pikir itu pas tadi kamu udah seneng banget foto-foto di samping bendera merah putih itu lho.
Yang kamu ngira itulah puncak Rajawali, tapi pas gua bilang, bukan, puncaknya masih ke depan lagi…
…trus pas kamu ngeliat jalurnya yang masih naik turun, sambil nelen ludah, kayak pengen nangis, kamu bilang:
“….boleh ga, sampe sini aja?”
Hahaha asli, itu gua ngakak banget.
Bukan apa-apa, tapi sayang banget lho. Soalnya kamu udah sampe sini, kayak tinggal selemparan kolor lagi, masa nyerah?
Makanya, ini gua tetep berusaha nyemangatin kamu biar sampe ke puncak Rajawali. Karena kadang, kita cuma perlu disemangatin dan didukung biar kita bisa melangkah lagi dan lagi, kan?
Nah, ini dia Puncak Rajawali.
Gimana perasaanmu akhirnya sampai ke sini?
Seneng gak perjalananmu kali ini ditemenin sama gua?
Yaudah, gua cuma mau bilang, Selamat datang, selamat kamu pemenangnya hari ini!
End.
<kamu juga bisa mendengarkan versi bagian terakhir mendaki gunung Sumbing via Bowongso di podcast berikut ini>
3 thoughts on “Gunung Sumbing via Bowongso”
Ngeliatin foto-foto pemandangan dari puncak gunung itu selalu memicu hasrat ingin menjelajah sampai puncak-puncak gunung tertinggi di negeri ini.. Tapi begitu mikir bokernya di tanah, belum lagi kejadian-kejadian horor yg sudah sering didengar dari cerita pendaki, langsung ciut lagi nyali ini kwkwkwk.. takuuuuut..
-traveler paruh waktu
-barrabaa.com
Padahal seru lho mas boker di tanah wkkwkwkw
Gan, yg puncak rajawali, puncak kawah, puncak buntu, puncak sejati itu mana sih? Tolong pencerahannya.
Ditunggu jawabannya, terimakasih