Jiwa-jiwa Dibalik Pendakian

“Kalau pengen tau sifat asli temen lo, ajakin aja ke gunung!”

Buat para pendaki gunung, pasti pernah denger kata-kata ini. Ah, bukan pernah denger lagi gua rasa, tapi sering banget denger kata-kata ini, yekan?

Gue pribadi, mengamini kalimat tersebut.

Yang mana, gue bisa generalkan menjadi: kita akan tahu sifat asli orang lain ketika berada di gunung.

***
Dari awal mendaki gunung, gue udah jauh lebih tertarik mengobservasi orang lain, ngobrol, memperhatikan, nanya ini itu, berinteraksi, dan memikirkan perbuatan grup serombongan, sampai grup rombongan lain ketimbang bener-bener perhatian sama jenis vegetasi yang ada di gunung tersebut, elevasinya berapa derajat, bayaran bis dari mana ke mana berapa, jurusannya kemana aja, dan ada batu akik apa kagak di gunung tadi.

Entahlah, people always make me curious.

Kayak waktu di Semeru, perjalanan gue jadi sedikit terganggu dengan satu orang yang ternyata bakalan jadi tokoh sentral di series (Bukan) Cerbung Semeru yang gua tulis beberapa tahun lalu. Namanya Adi, dimana orang ini adalah orang yang pertama kali naik gunung tapi bener-bener nyepelein kegiatan ekstrim ini. Dia cuma bawa keril isi air berliter-liter, yang mana, Semeru itu ada kolam air seluas-luas jagat, Ranu Kumbolo.

Lalu cuma bawa kemeja flanel, sarung, dan tripod. Okay, belajarkah dia kalau Semeru dinginnya bahkan bisa mencapai 5 derajat Celcius? Soal makanan, dia cuma beberapa biji mie instan, pernah kepikir gak sih, naik gunung itu perlu tenaga extra? Mie instan cukup?

Sayangnya, semuak-muaknya kami sama dia, atas nama jiwa orang Indonesia yang baik-baik, biarpun disambil nyinyir, tapi kami tetap bantu juga. Gue sama Adit bergotong royong buat membawakan keril isi berliter-liter airnya setelah dia mengeluh kalau pundaknya sakit melulu.

Meskipun akhirnya kita buang-buangin itu air karena emang beneran berat, njir! Kita kasih makan anaknya, kita kasih tempat tinggal (tenda) semalaman karena gak tega ngeliat anak orang tidur di sabana Ranu Kumbolo yang lagi dingin-dinginnya.

Lain lagi dengan pendakian gue ke gunung Argopuro kemarin, rombongan gue, yang cuma berisi tiga orang, Gue, Sandy, dan Nophe, bener-bener cuma bertiga di gunung yang luasnya sejagat raya. Man, kita bisa merasa kalau kita benar-benar cuma butiran, no, its not even butiran, bahkan bisa dibilang serpihan debu di jagat raya ini, cuma dengan melangkahkan kaki di jalur pendakian Gunung Argopuro via Baderan. Panjang kali luas kali lebar.

Saking luasnya, kalau kita beneran mendaki itu gunung dengan ritme yang tepat, kita beneran gak bakal ketemu siapapun, kecuali teman rombongan kita sendiri. Ritme yang tepat maksudnya, mendaki sesuai planning yaitu, misal: hari Senin sampai di Mata Air Satu, hari Selasa di Cikasur, hari Rabu di post berikutnya.

Beruntunglah gue dan rombongan kebanyakan bawa muatan dengan keril segede-gede kulkas. Selain jalan lebih lambat, ritme jadi gak beraturan. Tapi berkat itu, kami jadi bertemu sama rombongan ranger gunung yang lagi mau bikin talang air.

You know what, sore hari saat kami sampai di Sabana besar dan nekat lanjut jalan ke Cikasur, kami dihentikan karena mereka tau persis gimana jauhnya Sabana Besar ke Cikasur, gimana bahayanya jalur tersebut juga malam-malam.

Bukan cuma itu, mereka bergotong royong maculin sabana deket tenda mereka buat lapak tenda kami. Ngasih makanan yang sudah mereka masak. Mempersilahkan kami menghangatkan diri di api unggun yang mereka buat, dan, finally, kami ngobrol ngalor ngidul soal Argopuro, pendaki nekat yang tersesat dan gak ketemu sampe sekarang, rombongan pendaki yang minta dijemput karena ternyata kelaperan. Orang-orang kayak gini, dengan jiwa-jiwa seperti ini, bisa gue temukan di tengah hutan belantara. Kalau dirasain, hati jadi hangat deh.

Beda lagi cerita di awal-awal karir pendakian gue, caelah karir, di waktu awal-awal pendakian gue, dimana dikit-dikit mendaki Gunung Gede, saking deketnya dari Depok. Ya gak sedeket itu juga sih, pokoknya deket aja.

Awal-awal pendakian, gue yang bolak balik mendaki sama ‘orang luar’ akhirnya entah mengapa menarik perhatian temen satu kampus, tapi yea, kebanyakan cewe-cewe gemes. Yang walhasil, gue jadi semacam guide buat mereka. Di salah satu pendakian, ada seorang cewe yang mari kita sebut saja dengan Wati.

Si Wati ini, saat pendakiann terkena ala-ala “mountain sickness”, bisa dibilang demam panggung pas naik gunung. Lemah, lemas, muntah-muntah mulu, pucet. Sebagai ala-ala leader di pendakian tersebut, gue, udah pasti panik dan mikir gimana kalau si Wati kenapa-kenapa di pendakian.

Karena si Wati sakit, kami jadi sering berhenti, merawat Wati yang sakit. Masak ini itu biar perut Wati gak kosong, even sampai tetangga tetangga tenda kami repotin dengan minta ini itu, dan mereka membantu. Ah, gue suka berada di lingkungan saling membantu gini.

Tapi karena si Wati sakit dan hampir semua orang fokus sama si Wati, akhirnya, team juga satu per satu tumbang. Gue? Makin panik! Tapi gue terus memaksa rombongan, termasuk si Wati, agar terus gigih melanjutkan perjalanan, meskipun pelan. Dari titik pertama di Surya Kencana, sampai ke Puncak, lalu ke Kandang Badak. Gue, diprotes sama teman-teman serombongan karena terlalu ambisius terus melangkah sampai ke pos bawah.

Mungkin saat itu langkah gue dalam ‘mendorong’ teman serombongan terus bergerak bahkan sampai malem hari boleh dibilang tidak benar, tapi yang ada di benak gue saat itu adalah, membuat rombongan kami segera sampai di pos sehingga bisa makan dan istirahat yang benar, mengingat akhirnya selain Wati, beberapa orang jadi ikutan sakit. Feeling gue adalah, begitu sampai bawah, gue yakin mereka semua akan sembuh, ya karena sakit mereka disebabkan ‘kaget’ dengan kondisi pendakian.

Dan ternyata, meskipun dicaci maki teman serombongan karena gue terlalu tega, akhirnya kami sampai di Mang Idi, sebuah warung yang biasa dipakai para pendakai buat istirahat setelah sampai ke pos Cibodas.

And, guess what?

Si Wati SEMBUH!

Boleh dibilang, gue jatuh cinta sama kegiatan mendaki gunung. Bukan cuma alam dan petualangannya yang membuat gue terus-terusan ingin kembali mengulangi aktivitas tersebut berkali-kali, tapi juga jiwa-jiwa dibalik pendakian yang selalu sukses “surprising me”.

Gak menampik dengan banyaknya pendaki menyebalkan yang suka buang sampah sembarangan, egois, dan cuma jadi pemberat rombongan, tapi masih jauh lebih banyak lagi orang-orang disekelilingnya yang selalu menjadi parameter kebejatannya dengan gigih marah-marah soal buang sampah sembarangan, ada orang-orang yang punya jiwa leader yang bisa bikin orang egois tadi bisa mendapatkan tanggung jawab yang sama.

Soal kegigihan masing-masing peserta rombongan, tentu saja, dengan tujuan awal, berangkat bersama, pulang bersama, membuat kami saling bahu membahu dalam pendakian. Menyemangati satu sama lain, membantu satu sama lain kalau ada kesulitan yang nyata, which is, kesulitan nyata itu gak jauh-jauh dari keril yang berat dan akhirnya bisa aja tuker-tukeran keril.

Belum lagi bertemu dengan rombongan-rombongan lain yang gak sungkan-sungkan menawarkan persahabatan, pertolongan, kopi, dan roti untuk dinikmati bersama. gak jarang juga sampai nawarin jodoh.

Orang-orang ini, jiwa-jiwa ini, kegigihan, ketangguhan, saling membantu satu sama lain, dan kesabarannya, adalah Mahakarya Indonesia yang gue rasa akan terus tumbuh di masing-masing orang Indonesia.

Bener banget, kita bisa tau sifat asli teman kita mendaki gunung, tapi bukan cuma itu, karena kita bahkan bisa tau sifat sejati Jiwa Indonesia dibalik kegiatan pendakian gunung ini.
Gue, suka mendaki gunung!

Kamu?

50 thoughts on “Jiwa-jiwa Dibalik Pendakian”

  1. Beby Rischka

    Ah iya.. Aku malah pernah ketemu temen yang egoiiis banget. Tukang ngeluh trus ngedumel. Ngga ngenakin 😛

    1. beginning hiker, neh dari Jogja. Setuju deh yang mas acen bilang kalo sifat asli teman kita muncul pas lagi jalan muncak. sampun sindoro mas? MANTAP!!!

  2. Naik gunung emang bisa ngelihat sifat temen kita sendiri, apalagi yg sering ngeluh. Mungkin karena banyak tekanan ya, karena ga biasa naik gunung.

  3. Kresnoadi DH

    Anjir lah lo cen, sekalinya gue ke sini lagi. Nama gue dipake buat orang yang hina dina. Aku sedih cen. 🙁
    Wah, coba lo dulu kuliahnya di Kehutanan. Seru tuh. :))

  4. Saya sih yess mas
    Tpi kalo lagi nanjak keseringan ketemu temen yang mirip2 si adi,kalo udah gitu rasanya pengen getok tuh temen pake nesting.Nyebelin
    #malah curhat

  5. Nur Agustiningsih

    Saya suka saya sukaaa… tapi belum kesampaian bang wkwk. Seru dah kayaknya! Aaaa jadi pengen buru-buru memantapkan hati buat nanjaaaak 😂😂

  6. Rifqy Faiza Rahman

    Jadi… Kapan dimulai ekspedisimu ke Welirang, Arjuno, Penanggungan, dan Butak Mas Acen? 😀

  7. sumpah sumpah ini bikin gw tambah iri . setiap mau mendaki gagal mulu, sekalinya ke gn.salak cuma nyampe kawah ratunya doang nasib banget 🙁 , ok fix cari jadwal cuti dan gw bakal mendaki , tunggu akohhhh ya bang acen ahhhaha .

  8. Anugrah Septiansyah

    Suka banget bang, tp cuma bisa mendaki gunung disekitaran makassar doang 🙁 padahal punya mimpi telusuri gunung2 indah yg ada dinusantara wkwk klau ada waktu jalan2 kemakassar bang biar bisa mendaki bareng2 hehe

  9. May Sari Hendrawati

    Salam kenal Bang Acen, baru hari ini mampir kesini, baca – baca dan suka hehe
    terutama tulisan ini, bagus, lanjutkan Bang Acen 🙂

  10. suka mendaki sejak ngegebet cowok yang suka mendaki. alhasil dari anak pantai berubah haluan jadi pendaki. wkwkwk. kenangan ituuuu.

  11. Klo boleh kasih tambahan sih menurut saya selain bisa mengenal sifat asli temen bareng kita naik gunung, kita juga bisa mengenal pribadi sendiri bro..sifat malas,egois,manja,semua yg jelek2 tanpa disadari bisa muncul ketika ada di gunung. Hawa dingin, capek, dan stress bisa memicu sifat negatif apalagi bagi yg perdana naik gunung.
    Makanya byk yang bilang sebelum mendaki siapkan fisik dan mental..malah ada yg bilang persiapan fisik itu no.10 tapi yg no.1 adalah siap mental dan semangat untuk sampai dipuncak dan siap menghadapi segala rintangannya.
    jaman medsos sekarang jadi byk pendaki alay yg foto2 dipuncak pake quotes yg ditulis di selembar kertas dgn kalimat2 super baper "aku menuliskan nama mu diatas awan agar kau tau betapa aku sayang kamu" jiaaa cuiiih!!! Trus kertasnya dibuang gitu aja jadi sampah..heloooo itu gunung bukan punyaan emak loooo nyeeet!!!!…
    yaah jadi malah panjang ceritanye..ya udahlah pokoknya gitu deh..mantap deh catatannya si om..klo ada waktu nanjak gunung2 di sulawesi om tantangannya lebih dahsyat dari gunung2 di jawa yg udah dirawat sama taman nasional..salam

  12. Baca tulisan-tulisan di blog ini jadi semakin memantapkan diri untuk mendaki. Kemarin sempat ikutan acara 1000 Jurnalis ekspedisi ke Bukit Raya, Kalimantan Tengah, tapi ngak sampe ikut naik :(, karena udah harus balik ke kantor. Ah, semoga suatu hari punya kesempatan untuk mendaki :).

  13. rxhxnxtxjx -sebut saja teja-

    yuk cuss cyin, cucoks! trip gw ke semeru mengajarkan kegedean ego dan gengsi bakal nelen diri kita sendiri, ada temen gw selalu bangga dg setelan fully-loaded keril, kalo keril ga tinggi ga padet ga bakalan keliatan gagah perkasa, padahal dua kali jalan sebelumnya ( Gede dan Cikuray ) doi selalu mengalami masalah engkel, dan finally doi bener2 luntur 'gagah' nya di Semeru. Alhasil gw bolak balik dr pos 3 ke Rakum cm buat jemput kerilny, doi gw biarin nglenggang tangan kosong. Dan di Semeru pula, kira2 200meter dr puncak gw hampir menyerah krn keabisan air, haus karena makanin debu tp gw d semangatin ma anak dari Riau yg kuliah di Pare "ayo mas, masa kalah ma gw yg jauh2 dr sumatra. lah situ enak rumah di Blitar bisa ke Semeru kapan aja."

    dan perjalanan gw ke Tambora h+4 lebaran kemarin, membuka mata gw mana real friends, mana yg sampah. gw kehilangan satu temen tp gw dpt satu saudara. teman yg setiap hari kita temui blm tentu doi tulus ikhlas berteman ma kita. gw d manfaatin gw d rugiin hahahahaahanjiiiirrrr

  14. Busyet….Acen bisa nulis bener juga…haha
    Mantaaaff,,,ane salut dengan tulisan loh…maju terus..!!!

  15. havid adhitama

    Sblm naik udah pada janji dulu biar ego nya jangan dikeluarin…. ehh ttp di jalan pas ndiriin tenda yg lain malah pada selfie.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top