Sabtu malam, menjelang Minggu pagi dini hari 28 December 2024 kemarin, heart-rate yang ditunjukkan Garmin di pergelangan tangan gua, naik cukup tinggi padahal posisi tubuh lagi resting. I know my anxiety kicks-in.
Satu per satu memori tahun 2024 ini, menjejali isi kepala tanpa henti.
Apa yang salah. Yang seharusnya gak dilakukan. Yang gak boleh keluar dari ucapan. Apa yang saat itu gua kira benar. Ternyata jadi penyebab utama cedera, semacam akar masalahnya.
Tapi, biar adil, beberapa memori yang muncul layaknya kilas-balik kehidupan setahun terakhir, ternyata ada juga yang seperti membisikkan kalimat penyemangat: “You’re doing great!” , kok. Kayaknya. Mehehehe.
Layaknya sebuah taman hiburan yang lengkap dengan berbagai wahana permainan, tahun 2024 dalam hidup gua, kalau boleh di-analogikan, gak jauh beda dengan Histeria.
Itu loh, sebuah wahana di Dufan yang kita, dengan rela dan ikhlas (bahkan membayarnya), di-naik-turunkan perasaan, jiwa, dan raganya. Kalau dipikir-pikir lagi, demi apa?
Oh iya ding, demi semua hormon kebahagiaan, kecemasan, dan adrenalin meningkat bersamaan. Bikin mau-mau lagi, meskipun pas ngejalanin seperti mau nangis. HELP. Tuooolonggggggg!
Namun, seperti kebanyakan trauma dan anxiety yang bisa dikurangi dengan kegiatan healing, atau bisa jadi hilang sekalian dengan dihadapi. Maka dari itu, gua coba menuliskan The 2024 Acen Season Comes To An End, alias Kisah 2024 Acen, dalam 3 Babak ini.
Ps: menulis adalah sebuah kegiatan healing yang udah lama sekali gua tinggalkan dengan ragam alasan.
Babak Pertama: Kopi
Berangkat dari keresahan akan garasi rumah yang terlihat nganggur dan tidak produktif, terlintas di pikiran;
“Bikin kedai kopi take away ala-ala di garasi, bisa kali ya.”
Benar, terdengar seperti angan-angan manis seorang mantan pegawai kantoran yang cuma bisa minum kopi susu, itu pun harus yang pake gula. Pokoknya ga mau kopi pait. Americano, apa itu? Kok ya, bisa-bisanya keidean bikin kedai kopi.
Namun.. tetap saja gua mempresentasikan ide cemerlang ala kadarnya ini ke Rigo, sahabat gua yang pernah punya pengalaman bikin Coffee Shop…
….dan langsung ditolak 😂😂
Bukan apa-apa, trauma soal kegagalan Coffee Shopnya masih membekas.
“Gini Go, peralatan bikin kopi lu kan masih ada, ini garasi juga kosong. Istilahnya, bare minimum bikin kedai kopi udah aman. Tinggal jalan aja. Gagal yaudah lah tinggal tutup pager ga sih?” Bukan Acen namanya kalau gak ngeyel (baca: persisten).
Gayung bersambut, Rigo akhirnya setuju dan boom!
Meskipun sebulan berlalu gitu aja tanpa hasil yang jelas karena kurangnya niat dari dua belah pihak, malah main game ponsel terus;
“Buka Sabtu aja, cus?”
“Gas.”
“Bisa ga, ya?”
“Gak keburu kayaknya, sih. Sekarang udah Kamis.”
“Cuma naro meja di garasi, buka gerbang, gas aja lah!”
“Yaudah, Gas!!”
Sabtu tanggal 25 February 2024 sore, kedai kopi yang benar-benar seadanya di garasi rumah akhirnya dibuka.
Berbekal energi positif dari satu-satunya pembeli di hari pertama buka. Kedai Kopi iseng yang akhirnya kami beri nama Ngopidi.garasi berlanjut hari kedua. Buka jam 6 pagi pula. Konon, bahkan hingga tulisan ini terbit, Ngopidi.garasi bahkan belum pernah tutup sehari-pun.
Hari kedua diramaikan dengan rombongan bapak-bapak komplek depan rumah yang sedang jalan pagi dan berhasil kami rayu agar menjadi pelanggan. Lumayan kan, habis jalan-jalan, haus, langsung nongkrong menyeruput segelas kopi.
Melihat keriaan itu, mendadak terbersit ide bikin konten video soal keisengan kedai dadakan Ngopidi.garasi dan menjadikan bapak-bapak komplek tersebut model kami, lalu posting di IG dan Tiktok, tiba-tiba…
Shick shack shock.
Klik ini videonya: https://www.instagram.com/acentris/reel/C3wSaSxS00Y/
Views kontennya meleduk. Viral di semua platform. 3 juta views. 700ribu views. Deg deg. Apakah gua senang? Oh, tentu. Viral = calon omset. Tapi Deg deg.
Gua tetap lebih ketar-ketir digrebek warga karena takut terlalu membuat keributan.
Mengingat:
- ini komplek perumahan
- parkiran minim
Dari viralnya video itu, tiba-tiba influencer kopi berdatangan secara organik. Video pun makin viral dikomen para selebriti, pejabat, mau pun warga-warga terdekat.
Tiap hari bawaannya mules campur senang. Takut dikomen macem-macem. Takut dikomplain kopi ga enak (udah pasti, pernah). Takut digrebek ormas macem-macem. Sekaligus senang sekali dong karena hmm hmmm hmmmmm hmmm uang! Aku suka mencium bau uang!! Aku suka uanggggghhhhh aarrrrrghhh uangggg!
Kemulesan dan rasa deg-degan yang ga baik buat jantung ini ternyata berlangsung berbulan-bulan, cukup lama hingga euforia mereda sendiri dan mulai memunculkan customer-customer sejati yang royal, ngopi dan nongkrong hampit tiap hari, hingga melontarkan sebuah pertanyaan cukup menggelitik jiwa dan isi kepala:
“Mas, Ngopidi.garasi ini mau dibawa kemana udah rame begini?”
DHEG.
Cuma ide iseng yang hadir berkat garasi ngangggur tidak produktif, menghasilkan pertanyaan yang cukup menggelisahkan. Bahkan kalau gua boleh bilang, ini terpaut dengan segala lini kehidupan (yang lagi gua jalani).
Jujur, sampai saat ini, banyak hal yang lagi gua kerjain tanpa ada goal yang jelas. Apalagi yang muluk-muluk. Salah satunya Ngopidi.garasi. Semuanya serba mengalir aja seperti air terbawa arus. Gua ingin semua berkembang perlahan dengan semestinya tanpa perlu ngegas berlebihan.
Analoginya kayak lagi nyetir sambil galau. Ngambil jalanan lambat, nginjek gas secukupnya, asal mobil bergerak aja.
Kayak pas nabung untung dikit bisa buat beli mesin kopi, beli. Lagi itung-itung budget yang pas buat ganti grinder kopi, ganti. Bahkan pas udah ikhlas hati profit berkurang karena harus mulai hire crew barista, ya udah hire.
Selow aja. Asal tetap gerak bernafas muter sendiri tanpa perlu dikejar-kejar ntahlah apa itu.
Gak tau sejak kapan ini dimulai, tapi kayaknya di mid-2023, sewaktu Kekucingan* di atas angin dan harapan membumbung kian tinggi, pas lagi banyak-banyaknya keputusan agresif diambil demi perkembangan dan pencapaian yang lebih jauh lagi, tiba-tiba semua statistiknya drop. Pelan tapi pasti, turun lumayan drastis.
Dari harapan Kekucingan bakal begini-begitu, berkembang sampai sini dan situ, mencapai lebih banyak hal lagi, ternyata bisa bertahan hingga kini aja udah cukup bagus. Bisa terus bergerak dalam survival mode aja udah keren banget.
Dada gua sesak tiap hari, berandai-andai: “coba gua dulu ga ngambil keputusan seagresif itu, pasti resiko yang terjadi lebih minim. Coba dulu manajemennya lebih dibegitu-beginikan, pasti kehidupan berbisnis sekarang ga seberat ini.”
Sampe akhirnya, gua kek, inhale-exhale, yaudah lah. Udah terjadi.
Mari coba nikmati aja yang ada, apa yang udah diputuskan sendiri, tanpa perlu menyesali berlarut-larut lagi. Waktu ga akan kembali. Pelan-pelan bangkit, sambil mengurangi rasa menggebu-gebu dalam mengejar sesuatu dengan ambisi yang membuncah-buncah lagi.
Cukup merayakan hidup yang sekarang lagi dijalani hari demi hari. Toh, hidup serba cukup di usia lebih dari tiga puluh, dengan anggota tubuh yang masih utuh, juga termasuk pencapaian, kan?
Untungnya, gak seperti Kekucingan, Ngopidi.garasi dimotori oleh dua orang yang cukup berbeda pola pemikiran. Jadi, semua keputusan serba harus berdua. Sehingga, gua masih bisa bergantung sama partner buat menjawab pertanyaan ini:
“Mas, Ngopidi.garasi ini mau dibawa kemana setelah ini?”
Babak Kedua: Coaching.
“Kalau ada goal spesifik, bagian tubuh mana atau skill apa yang ingin difokuskan?”
Kurang lebih, begitu isi salah satu quesioner dari Coach Aufra yang sudah membersamai gua selama 3 tahun terakhir, tentang yearly goal setting.
Setelah tahun sebelumnya gua menginginkan skill Muscle Up (yang ternyata juga baru bisa tercapai di tahun 2024 ini — itu pun masih belum sempurna), tahun ini i want my chest bigger.
But again, mengacu pada isu personal ambition di babak pertama, meskipun gua selalu show up dan konsisten datang latihan kekuatan, i just let it flow. Di sinilah peran coach gua jadi sangat krusial.
Muncul datang latihan secara konsisten adalah bare minimum. Progressive overload adalah keharusan jika ingin mendapatkan hasil yang diinginkan. Sementara grinding adalah usaha yang perlu dilakukan. Dengan coach aja kadang males nge-grind, gimana tanpa coach?
“Ngajar juga cara yang bagus buat belajar.”
Kata coach Aufra nice-try menceburkan gua ke dunia coaching.
“Emang bisa? Orang gua aja dikit-dikit curhat sama lo.”
Lama jadi client, gua sadar kalau dari yang semula cuma curhat soal plan latian, body goal, body image, mulai merambah ke hal-hal yang bersifat personal. Jujur, agak cemas, selain sharing, apakah gua juga mampu untuk listening?
“Gak tau kalau ga dicoba, kan?”
And that’s how i kecebur beneran di dunia coaching.
Dari iseng-iseng ambil sertifikasi personal trainer APKI Indonesia, sampai akhirnya bikin tempat gym kecil-kecilan ala kadarnya sendiri di rumah yang gua beri nama JWRG (akronim dari Jiwaraga) dan memberanikan diri menerima client satu demi satu. Dari yang awalnya cuma ngomong satu arah, sampe beneran bisa mendengar dan jadi safe-space buat clients curhat soal apa pun.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yang mana gua menghabiskan sebagian besar waktu ngegym sendirian di mega-gym dengan tuntunan coach secara online. Tahun 2024 ini gua lebih banyak menghabiskan waktu gym langsung, offline barengan coach Aufra dan teman-teman coach lainnya. Kadang juga latian bareng clients di JWRG.
Secara statistik, gua sudah menghabiskan sebanyak hampir 200 sesi strength training sepanjang tahun 2024 dengan dukungan Coach Aufra dan teman-teman kelas malam Fitness Embassy (halo BunDel, Leon, Mimel, Bang Maul, Andaws, Nisa, Afdhal, Ojan, Chandra, Gita, Mba Novita, Ka Shasha — thank you sudah menjadi temanku!). Ternyata benar kata Spongebob;
“Bersama teman, semua beban terasa lebih mudah diatasi.”
Pun, gua juga sudah menyaksikan progress menjulang clients kesayangans (baik dari sisi improvement mindset, pola makan, power, dan form gerakan) dalam 450-an sesi strength training bersama (you know who you are gessss). Terima kasih sudah mempercayakan dirimu kepadaku. Yuk mari makin kuat 2025!
(btw, masih ada limited coaching slot bersamaku buat yang minat langsung aja DM @JWRGSpot yes — wow maap namanya juga usaha wkwk)
Babak 3: #LIFEAT36.
“Acen habis naik gunung bener-bener keliatan lebih seger, ya. Kayak abis recharge.”
Berkat komenan itu, gua baru menyadari kalau mimik muka ternyata gak bisa boong. Baik itu over excited, bad mood, happy, atau cuma ‘meh’ aja bisa keliatan jelas.
Dulu, waktu masih cukup aktif mendaki gunung di usia 25-ish, gua punya impian bakal naik gunung setiap merayakan pergantian umur. Waktu itu, tujuannya jelas, galau. Berharap ada yang nyariin. Apeu coba najis bet najis. Wkwkw.
Ternyata, keinginan itu baru bisa terlaksana mulai usia 34, melalui trip ke Gunung Rinjani, berlanjut ke usia 35 dalam pendakian Gunung Merbabu, yang ternyata merupakan cikal bakal munculnya hestek #lifeat35 yang gua sebarkan di instagram dan tiktok personal gua.
Tentu saja, dengan tujuan yang udah jauh berbeda, yaitu merayakan hidup. Kembali ke isu kehidupan babak pertama (scroll lagi ke atas), mencapai usia over-30 udah boleh dibilang sebuah pencapaian. Karena sebuah pencapaian perlu dirayakan, ide menghabiskan waktu di gunung saat pergantian usia, ternyata ga buruk juga.
Nah di tahun 2024 ini, untuk merayakan peralihan dari #lifeat35 ke #lifeat36, gua revisit:
Pre:
GUNUNG GEDE: Tektok Lagi.
Pertengahan tahun 2024, tepatnya di bulan Juni. Saat euforia Ngopidi.garasi mulai melandai, Kekucingan masih dalam mode survival, jadwal coaching sedang cukup padat merayap tapi otak sangat buntu butuh refreshing (baca: naik gunung), revisit Gunung Gede adalah pilihan yang tepat guna dan upaya.
Cuma 2-3 jam perjalanan dari Bintaro, Tangsel, udah bisa menikmati engapnya nafas jarang latihan cardio, pendengaran yang dipenuhi irama jantung berdengung-dengung, dan indahnya gunung…. yang kayak gini:
Jujur, setelah sekian lama ga revisit Gunung Gede (wkwkw apeeuuu tiap tahun juga mampir), gua agak terkejut sama situasi dan kondisinya yang rame banget-banget-banget buset kayak ada konser di puncak. Atau mungkin juga, karena selama revisit Gunung Gede selalu ngetrack via jalur Cibodas dan hampir ga pernah nge-track via Jalur Putri. Bisa juga karena kebetulan tahun ini revisit over the weekend (Sabtu).
Oh oh, dan juga, tektok via jalur Putri mihillll bingitttttt !!! (meskipun bisa dadakan ga perlu booking online jauh-jauh hari) Ps: kena 85rb per orang belum ongkos parkir.
Hari H:
GUNUNG SUMBING: Seperti Bapak.
“Sejak pensiun dan pindah ke Temanggung, saya malah jadi bisa naik gunung begini sering-sering.”
Ucap Bapak-bapak berusia sekitar 60-an, fisik masih tegap, perlahan tapi pasti, dengan langkah mantap menuruni jalur Gunung Sumbing yang serba pasir dan berdebu di tengah teriknya pagi. Sungguh bikin gua terkesan.
Sebagai orang yang menghabiskan separuh hidup di JKT dan sekitarnya, sering kali gua kepikiran; “nanti, kalau udah usia pensiun, gua bakal tinggal dimana ya?”
Bapak ini sedikit banyak memberikan inspirasi.
Berpuluh-puluh tahun tinggal di BSD dan hidup commute dengan hiruk-pikuknya pekerjaan di kota Jakarta, ternyata gak bikin Bapak ini (yang jujur gua lupa namanya) kena culture shock saat memulai hidup baru di Temanggung. Justru, malah bikin hobinya trekking di Gunung, lari pagi, dan olahraga lainnya makin aktif.
“Saya malah gak enak mas kalau diem gak ada aktivitas. Awalnya sih janjian bareng temen-temen, tapi mendadak pada ga bisa, ya sendirian juga ga masalah, kan masih ada yang nemenin (porter-guide akamsi — anak kampung sini).”
Fix, pak. Kalau udah seumuran, gua bakal Seperti Bapak!
Selain obrolan pensiun bersama bapak-bapak stranger, sebenernya masih lumayan banyak yang bisa diceritain dari perjalanan merayakan peralihan hidup dari usia 35 ke 36. Seperti, betapa senangnya gua gak salah pilih Open Trip seperti sebelum-sebelumnya.
Asli, enjoy banget mulai dari ketepatan waktu perjalanan, makanan-minuman yang disediakan selama pendakian, grup-grup kecil yang menyenangkan (grup dalam grup i mean, total pesertanya aja 23 orang), bahkan rasa-rasanya, para pendaki pria bisa satu vibes meskipun membawa keresahannya masing-masing. Kayak udah berteman lama, padahal baru ketemu saat pendakian itu aja. Vibes pendakian yang selalu ngangenin.
Gong-nya tentu aja; Puncak Sejati Gunung Sumbing pertama gua (dan satu-satunya) di tahun 2024!
And with that, The 2024 Acen Season Comes To An End.
2 thoughts on “The 2024 Acen Season Comes To An End.”
Baca blog jalan pendaki ngingetin gue jaman masih muda belia 😆,blog yg selalu gue baca di sela kerjaan kosong.
skrng anak gue udh 5 thn bang!
huhu..syeddihh (walau bukan agus)
ternyata hidup terus berjalan dgn cerita2 baru..
sukses terus bang acen!
ditunggu cerita2 selanjutnya
Nyahahhahah yawla terharu bgt, aku nulis jg dari muda belia sampe anakku udah 9 (kucing btw).
Sehat selalu juga kamuuuu! Yes, doakan konsisten nulis yesss 😘